watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

LATE HOURS

“Gentlemen, this is Yulita, our new creative
director,” kata Mr. Jansen, chief executive media
memperkenalkan cewek semampai bersetelan jas
pantalon resmi di sisinya. Si cewek tersenyum
kecil pada kami. Sombong amat! Makiku dalam
hati. Dia ngoceh dalam bahasa Inggris pada Mr.
Jansen yang menunjukkan mejanya, persis di
seberang mejaku. Si Yuli melirik sekilas padaku,
angkuh. “I’ll use my own laptop,” katanya, seakan
meragukan kapasitas deretan Macintosh biro iklan
kami. Dari balik monitorku sesekali kutengok ia.

Tidak cantik amat, tapi.. apa ya? Chic? Sensual?
Bibirnya itu lho! Terpikir olehku, bagaimana
rasanya.
Seharian si Yuli duduk di depanku, ia nyaris tak
bersuara. Suaranya yang rendah itu dihematnya
untuk bicara soal pekerjaan saja. Selebihnya, sepi!
Tidak kenalan, tidak “say hi”. Pokoknya duduk
diam dan asyik mengetik dan ceklak-ceklik
dengan mouse-nya. Saat makan siang pun Yuli
makan dengan diam-diam. Seloroh-seloroh nakal
(bahkan bejat) yang sering dilontarkan teman-
teman paling-paling ditanggapinya dengan
mengangkat sudut bibirnya saja. Selesai makan
siang, kami yang mayoritas laki-laki merokok,
kecuali Endah, front-officer merangkap sekretaris
dan Bu Sintha, kepala divisi marketing, serta Ratri
bagian rumah tangga merangkap perpustakaan.

Si Yuli merogoh Marlboro Light dan Zippo dari
sakunya. Busyet! Kosmopolitan, nih! Sampai dua
bulanan berikutnya si Yuli tetap seperti gunung
es. Dingin, diam, tanpa basa-basi. Ia bekerja
dengan efisiensi ala bule yang memang diingini
Mr. Jansen dan para klien. Soal directing materi
iklan dan mengkoordinir para sutradara
production house dia memang jago. Ia juga
betah kerja lama, workaholic!
Suatu ketika biro kami ketiban pulung. Ada
perusahaan softdrink besar yang
mempercayakan penggarapan materi iklannya
pada kami, untuk semua jenis media, selama 12
bulan. Kami kerja mati-matian dan praktis lembur
tiap hari. Seperti biasa si Yuli paling ampuh
bertahan. Suatu malam, akhirnya teman-teman
yang sudah begadang empat malam mana tahan
juga, satu per satu pamit pulang duluan. Tinggal
Yuli dan aku yang masih bertahan. Kebetulan
kami sama-sama lajang dan aku senior-art-
designer, harus terus berkoordinasi dengannya.

Sunyi menyiksaku. Dengan otak mampet begini,
mana bisa ide cemerlang muncul.
“Yul, nggak capek?” kucoba berkomunikasi
dengannya.
Ia mengangkat muka dari laptop-nya. Ia tampak
curiga dan pasang kuda-kuda.
“Mmm, ya ginilah,” sahutnya pendek.
“Boleh nggak, konsultasi di luar job?” tanyaku.
“Hmm?” ia menyulut rokoknya.
Kucoba bercerita tentang Susan, pacarku. Ia
tertawa saja.

“Kalau ‘jam terbang’-mu bagaimana?” pancingku.
“Menurutmu gimana?” tanyanya balik sambil
menatapku lurus-lurus.
“Yaah, kamu keliatannya nggak perlu cowok,
tuh?”
Ia tersenyum.

“Perlu sih perlu, tapi aku nggak suka terikat.”
“Jujur, ni ye,” ledekku.
“Iya dong. Nggak kayak kamu,” katanya.
www.ceritaindo.sextgem.com Wah, apa nih?
“Aku kenal betul tatapan mata seperti itu,” ia
menudingku.
“Aku tahu apa aja yang biasa kau lihat dari situ,
aku juga bisa menebak apa yang ada dalam otak
kreatifmu itu..” sindirnya sambil tersenyum.
Darahku mulai berdesir.
“Apa coba yang aku pikir?” ego maskulinku
tertantang.
Yuli menyisihkan laptop-nya.
“Gini. I like her. Aku pikir cewek ini lain, gimana ya
rasanya have sex dengannya..” katanya ringan
meramal pikiranku.
Aku nyaris tersedak asap rokokku. Kutatap dia.
Dengan tenang ia balas memandang. Tanpa
malu-malu. Testoteron dan adrenalin-ku berpacu.
Dia jelas-jelas memancing. Gobloknya aku!
“Kamu mau?” tanyaku lugas kepalang basah.
“Apa masih kurang jelas?” ia kembali balik
bertanya.
Kuangkat bahuku meski dalam hati penasaran.
“Aku senang kerja denganmu, aku suka ide-
idemu, suaramu, sikapmu. Pasti.. cukup hangat
melewatkan malam denganmu..” suaranya
makin lama makin rendah.
Aku bangkit dan memadamkan rokokku.
Kudatangi mejanya. Ia tetap tenang menantiku.

“Serius?” bisikku di hadapannya.
“Kita capek, dan perlu refreshing ‘kan?” jawabnya
pelan.
Kujentik bibirnya. Ia menatapku tenang.
Telunjukku kusapukan ke bibirnya. Ia diam. Saat
sekali lagi kusentuh bibirnya, ujung lidahnya
menyentuh telunjukku. Aku tak sabar lagi. Ia
kurengkuh dan kukulum bibirnya. Ia membalas
pelukanku dan menyambut bibirku. Bibirnya
yang lembut, kenyal dan hangat kulumat habis,
lidahku menyusup di sela bibirnya. Dengan
hangat ia menyambut lidahku. Kurapatkan
tubuhnya ke tubuhku hingga payudaranya
menekan dadaku. Kurasakan tubuhnya
mengencang dan makin hangat dalam
dekapanku. Bibir kami terus bertaut selama
beberapa saat. Sisa aroma rokok di nafasnya
makin mengobarkan gairahku sementara
geliginya nakal menggigit kecil bibir dan lidahku.

“Great kiss..” bisiknya saat kulepaskan untuk
bernapas. “You too..” Jemarinya mencengkam
lenganku saat kususuri sisi lehernya dengan
bibirku. Ia gelisah sekali. Tarikan napasnya
pendek-pendek dan tersendat. Saat lidahku
menyapu cuping telinganya yang bagus dan
napasku menghembus tengkuknya ia mengeluh
pelan sambil menggigit bibir sementara
tangannya liar menggerayangi dada dan
punggungku. Desahnya makin cepat saat
ciumanku menuruni lekuk lehernya. Suhu
ruangan yang ber-AC terasa makin gerah saja.

Blusnya kurenggut dari pinggang pantalonnya.
Tanganku mendapatkan pinggangnya yang
mulus, hangat dan liat. Kedua belah tangannya
melingkar menahan tengkukku saat ia mengecupi
bibirku. Sebelah tungkainya mulai naik
melingkungi pinggangku. Dengan gugup ia
meraih kancing bra-nya saat blusnya kulucuti.
Dengan bertumpu pada sisi meja, kuangkat Yuli
dalam gendonganku. Mulutku mendapatkan
pucuk-pucuk buah dadanya yang coklat muda
kemerahan dan dengan gemas kunikmati.

Sementara kuremasi pantatnya.
“Aryo.. Aryo..” desisnya. Sembarangan ia
mencoba membuka hem-ku, dua biji kancing
lepas saat tak sabar ia menariknya. Ia merosot
dari gendonganku, dengan jemari bergetar ia
berusaha membuka gesper ikat pinggangku.
Tidak berhasil. Tangannya beralih merabai
selangkanganku, padahal tanpa dirabainya pun
aku sudah “hard on” dari tadi. Tiba-tiba ia berlutut
dan membuka ritsleting-ku dengan giginya.

Dengan sukarela kubuka gesperku karena jeans-
ku terasa makin sempit oleh kelaminku yang
menggembung. Celana itu segera ditarik turun
hingga lepas lengkap dengan celana dalamku. Yuli
menyambut ujung kemaluanku dengan
mulutnya sementara paha dan pantatku habis
diremasinya. “Aaahh!” tubuhku serasa dijalari
arus listrik. Yuli agaknya benar-benar tahu cara
membuat laki-laki meniti “ekstase”. Lidahnya
menyusuri batang kemaluanku hingga ke pangkal
zakar. Susah payah kujaga keseimbanganku agar
tak terjatuh tiap kali kepala kemaluanku
dihisapnya. Tubuh dan lengan Yuli serasa
membara sementara telapak tangannya dingin
dan lembab. Peluh menitik di pelipisnya. Makin
lama makin rapat ia mengulum “anu”-ku. Sebelah
kakiku dikepitnya di sela paha hingga bagian
kewanitaannya menggeser kakiku.
Aku tak tahan lagi. Setengah paksa kulepas ia.

Pipinya merona, rambutnya acak-acakan,
bibirnya memerah dan basah oleh liur. Tubuhnya
sedikit menggigil. Ia kelihatan makin seksi. Begitu
pantalonnya merosot saat kubuka dan ia melepas
celana dalamnya, tubuhnya kuangkat dan
kusandarkan ke dinding. Kedua tungkainya ketat
melilit pinggangku. Desahnya tertahan saat
batang kemaluanku mulai memasuki liangnya.

Geliginya terkatup rapat menahan bibir. Kukulum
bibirnya dan lidahku masuk ke rongga mulutnya.
“Mhh!” jeritnya tertahan bibirku, saat kujejalkan
seluruh batang kemaluanku ke lubang
kemaluannya yang kesat dan hangat. “Hhh..” ia
menggelinjang, menggeliat berusaha meronta
dari pelukanku saat kugerakkan panggulku
sehingga organku menggeser dinding dalam
liangnya yang menyempit merapati kemaluanku.

Semakin ia memekik dan otot-ototnya berusaha
mendorong batang kemaluanku, makin keras dan
dalam kudesak ia. Kubiarkan ia menggigit bahuku
untuk melampiaskan segala yang dirasainya
hingga akhirnya ia mulai mengikuti irama shake
up-ku. Hangat nafasnya menyapu wajahku.
Peluh mengembun di sekujur tubuh kami meski
suhu AC 17º C pada dinihari itu. Yuli mengusap
peluh di wajahku dan meniupiku. Tiba-tiba jepitan
tungkainya di pinggangku mengetat, denyutan
liangnya pun makin hebat. Yuli mengatupkan
giginya, panggulnya berayun menyambut setiap
desakanku, pelukannya pindah ke panggulku
seakan menuntutku lebih dalam pada setiap
goyangan. Lubang kemaluannya kini lembab dan
licin oleh cairan kewanitaannya. Kudekap ia erat-
erat. Akhirnya sebelah kaki Yuli turun dari
pinggangku saat ia mencapai orgasme. Dahinya
tersandar di bahuku. Buru-buru ia kubawa ke
kursi terdekat. Gaya knee-trembler begini betul-
betul menuntut stamina ekstra.
Di kursi, Yuli duduk di pangkuanku dan mulai
pulih dari orgasmenya. Seperti biasa ia
menatapku terang-terangan. Ujung-ujung jarinya
menyusuri wajahku. Menyibak rambut yang
menutupi dahiku, mengikuti bentuk alisku,
menuruni hidungku, menyapu kumisku dan
merabai bibirku. Aku merasa seperti mainan. Saat
telunjuknya menyentuh bibir bawahku,
kutangkap tangannya dan kugigit telunjuknya. Ia
memekik dan tertawa, suara tawanya merdu. Ia
menunduk padaku sambil menjulurkan ujung
lidahnya ke depan bibirku. Tentu saja kusambut
godaannya itu untuk sekian kalinya, lidah merah
jambu itu kutarik ke mulutku dan kukulum,
sementara buah dadanya yang kenyal menekan
dadaku yang terbuka. Jantungku serasa berdetak
di telinga. Kuusap kedua gumpalan indah di
dadanya itu sembari bibir kami terus beradu.

Tangannya menjangkau tanganku dan
membawanya merabai gunung kembar itu
dengan cara yang disukainya. Ia bahkan
membiarkanku meremasnya.
Darahku serasa naik sampai ke kepala. Aku sudah
tak tahan lagi. Kupegang panggulnya dan kudesak
ia beberapa kali maju mundur. Ia sesekali
meringis dan mendesis karena gerakan itu, tapi
tiap kali kelaminku menyodoki kemaluannya, tiap
kali itu pula ia memajukan panggulnya hingga
rasanya aku masuk makin dalam dan liangnya
jadi makin sempit karena kontraksi. “Yo..”
rintihnya sambil berpegangan erat pada tepi meja
saat kupaksa anuku masuk lebih dalam lagi. Tiap
kali ia mengeluh, memanggilku, aku jadi makin
semangat. Bagai kesetanan (mungkin memang
kesetanan) tubuhnya kurangkul, kuciumi bibir,
leher dan dadanya dan kutahan panggulnya kuat-
kuat saat semenku menyembur ke liangnya.

Gelenyar nikmat menjalari setiap titik syaraf di
tubuhku.
Yuli berkaca-kaca, segaris air mata membasahi
pipi kirinya. “Sakit?” tanyaku. Ia menggeleng dan
merebahkan tubuh ke dadaku. Tanganku diraih
dan diletakkannya di pipinya. Saat itu baru
kusadar betapa putih kulitnya dibanding kulit
sawo matang gelapku. Kukecup dahinya. Ia
makin merapat padaku berusaha menghangati
tubuh telanjangnya dari suhu AC yang menggigit.

“Berapa lama sudah?” tanyaku setelah beberapa
saat berdiam diri.
“Maksudmu?”
“Ini bukan pertama kalinya ‘kan?” tebakku.
“Kapan terakhir kamu melakukannya?”
“Apa itu perlu?”
“Ingin tahu saja.”
Ia menghela napas.
“Aku tidak segampangan yang kau sangka.”
“Jelas. Tapi boleh dong aku tahu, aku ini nomer
berapamu?” rajukku.
Yuli menghela nafas dan menatapku lurus-lurus.

Ia mengangkat dua jarinya di depan hidungku.
“Masa, sih?” tanyaku tak percaya sekaligus
bangga.
“Buat apa aku bohong?” katanya sambil berbalik
memunggungiku lalu meraih wadah rokok dan
pematikku, disulutnya sebatang.
“Siapa yang pertama, pacarmu, teman di kantor
lama, atau.. suamimu?” selidikku.
“Bukan urusanmu,” gumamnya.
Asap rokok dihembus kuat-kuat. Kuambil
rokoknya. Kuciumi bibirnya.
“Sorry, cuma penasaran aja. Jangan-jangan kau
hobi meniduri kolega,” ia tertawa.
“Sembarangan. Nggak lah. Mungkin kita cocok
aja.”
Ia menggeser mouse-ku dan mengklik ikon
Winamp. Sesaat kemudian Get Lost in Your Eyes-
nya Debbie Gibson mengalun.
“Cocok, gimana?” kusibak rambut yang menutupi
tengkuknya dan kuciumi belakang lehernya.

“Mmm.. kamu.. kreatif..” jawabnya.

Ciumanku menjalar ke punggung, bahu dan pipinya.

“Jelas dong. Senior Art Designer! Tapi masa cuma
kreatif aja, nggak ada lainnya?” tuntutku di
telinganya.
Aku mulai panas dingin lagi.
“Lho, jarang lho cowok kreatif soal making love,”
tegasnya.
“Mhhm. Kalau cowokmu dulu.. gimana?” kejarku.
Ia langsung berbalik dan menyumbat mulutku
dengan ciuman.
“Jangan ngomong soal orang itu, ah!” tolaknya.
“OK. soal kita saja, ya.”
Kami mulai bercumbu lagi. Seperti tadi, ia
menggerayangiku ke mana-mana sementara
lidahnya bermain di kedua putingku. Tiba-tiba
tangannya meluncur turun merabai perutku,
menyusuri rambut pendek yang tumbuh mulai
bawah pusar hingga ke pangkal batang
kemaluanku. Lalu ia mulai menjahili kelaminku
yang setengah ereksi. Betul-betul bikin penasaran.

Cuma telunjuknya saja yang ke sana kemari
merambah batang kemaluan sampai kantung
zakar. “Shake me,” kataku. Ia ragu-ragu.
Kugenggamkan tangannya ke kelaminku. Ia
langsung melepaskannya. “Please,” pintaku. Sekali
lagi kubawa tangannya ke sana. Ia menekanku
lembut. “Sakit nggak?” tanyanya. Aku
menggeleng. Ia mulai mengurutku. Amboi! Si
kecil langsung menegang penuh. Yuli menghela
nafas dan merapatkan tubuhnya padaku.

Kuangkat ia ke meja poster di sebelah mejaku.
Lembar-lembar storyboard, disain poster,
kepingan negative slide dan sebuah asbak penuh
puntung kusapu begitu saja saat kami menaiki
meja.
Babak kedua dimulai. Berada dalam tindihan
tubuhku, Yulita begitu penurut dan mesra. Ah,
seandainya ia juga begini saat kami mengolah
iklan. Ia seakan tahu apa yang kuinginkan dan
membiarkan aku berbuat semauku. Dinding
keramik ruang kerja kami memantulkan
bayangan tubuh kami yang saling merapat,
persis seperti lambang Yin-Yang. Desah Yuli
makin jelas. Meski Yuli menyambut semua
ciumanku dengan hangat dan membawa
tanganku kemana-mana menyusuri tubuhnya,
“gerbang selatan”-nya tak seramah si pemilik.

Tiap kali kuayun panggulku agar “tongkat”-ku
masuk lebih dalam, “terowongan” yang
tersembunyi di balik hutan kecil itu melawan
habis-habisan. Makin kugoyang, makin sempit
saja rasanya. Di antara jepitan-jepitannya yang
heboh, otot liang Yuli sesekali bergerak memutar
batangku. Ooh, dimana anak ini belajar jurus
begituan?! Aku sempat kelabakan juga untuk
mengimbanginya. Untung, Yuli sendiri agaknya
tak cukup kuat menahan orgasmenya.
Tak lama kemudian liangnya membasah dan
makin licin. Runtuh juga akhirnya pertahanan
yang gigih itu. Dengan semangat juang membara
aku mulai memompa kuat-kuat. Darahku rasanya
berdesir-desir di ubun-ubun karena Yuli masih
berusaha melakukan perlawanan terakhir meski
sudah basah kuyup. Batang kemaluanku rasanya
seperti dipijat maju mundur oleh celah yang
penuh dilumasi cairan kewanitaan. Yuli mulai
terengah-engah lagi. Jemarinya yang berkuku
pendek mulai ngawur mencakari bahuku.

Kutangkap kedua tangan mungilnya, kubawa ke
atas kepalanya dan kutindih dengan lenganku.
“Jangan galak-galak, dong,” bisikku di telinganya.
“S.. sori, aku nggak tahan..” sahutnya di sambil
menarik nafas.
“Nggak tahan ini ya..” kuayun panggulku perlahan
hingga kemaluanku bergerak dalam liangnya.
“Ngghh..!” pekiknya sambil menggeliat.
Pahanya langsung mengencang mengepit
pinggangku.
“Yo, lepasin dong!” rengeknya sambil berusaha
melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Nggak enak, nggak bisa peluk kamu.”
“Asal janji nggak main cakar, perih nih..” tawarku.
Ia mengangguk. Begitu kulepas, ia langsung
mengusap bahuku.
“Mana yang perih, ooh, ini ya? Kaciyaann..”
ledeknya sebelum mengecupi lecet bekas
kukunya itu.
Mau tak mau aku tertawa juga melihat ulahnya.
Jeda sesaat itu ternyata justru mengobarkan
klimaks yang tertunda karena cakaran Yuli. Masih
tertawa-tawa, kuteruskan pompaan ke “jalan
bahagia” Yuli yang sudah banjir deras. Yuli
memekik tertahan-tahan setiap kali aku
menggoyangnya. Ia menggeliat, menggelinjang
tak karuan dalam tindihanku, namun tiba-tiba saja
tubuhnya merapat erat.
“Te.. rus.. Yo, teruss..” desahnya meracau.


“Tahan Yul, sedikit lagi..” bujukku pada Yuli yang
sudah mabuk orgasme.
Dengan sabar dan lembut Yuli mengulum bibirku,
merabai dadaku, melarikan jemarinya ke tengkuk
dan pangkal telinga serta mengusapi rambutku
sampai akhirnya “meriam”-ku meletus habis-
habisan dalam liangnya.
Bukan Yulita namanya kalau tidak penuh kejutan.
Tak lebih dari sepuluh menit setelah kami selesai,
ia sudah merosot turun dari meja poster dan
memunguti bajunya yang terserak di lantai dan
mejaku, sementara aku masih melayang-layang
menikmati sensasi.
“Sudah jam empat, kerjaan belum selesai,”
katanya.
“Aku mandi dulu.”
Hilang sudah Yulita yang hangat dan merajuk
manja. Kini kembali kulihat creative director yang
dingin dan efektif.
Hampir sejam Yulita di kamar mandi, ia muncul
dalam keadaan wangi dan berbaju bersih.
Rambut lurusnya basah bekas keramas. Sisa air
masih menetes-netes di ujung rambutnya.

“Coba kau lihat ini, bagaimana kalau disainnya kita
buat begini..” panggilku.
Selama ia mandi aku berhasil menyelesaikan
rancangan storyboard utama berkat pikiran yang
sudah jernih.
“Ini bagus,” katanya sambil menunduk
memandangi disainku di layar komputer.
Entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam pikiranku
bahwa ia milikku dan jangan sampai teman
sekantor lainnya mendekatinya.
“Udah, kamu mandi dulu gih, clean-up-nya biar
aku yang rapiin,” katanya dengan nada tak mau
dibantah.
Kali ini dengan senang hati aku menurutinya. Saat
office boy datang pukul 06:00, disain untuk
presentasi internal sudah selesai seluruhnya, kami
juga sudah merapikan meja poster yang
semalam jadi arena pergumulan. Pukul 08:00
saat teman-teman datang, mereka cuma melihat
creative director and senior art designer yang
asyik berkutat dengan komputer masing-masing.
“Wah, hebat. Gimana nih kabar pasangan Lapis
Legit kita?” ledek Tigor si media planner.

“Sip!” kataku.
“Storyboard utama sudah siap dipresentasikan.”
Tigor ternganga.
“Sialan. Kompak juga kalian,” makinya kemudian.
Pukul 09:30, briefing di mulai. Dengan dingin
Yulita menerangkan pekerjaan kami, dan
membagi kesempatan bicara untukku, namun
tidak sekalipun ia memandangku. Entah apa yang
dipikirkannya. Entah bagaimana kelanjutan
hubungan kami nantinya.


Adult | GO HOME | Exit
1/1036
U-ON

inc Powered by Xtgem.com